BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang Masalah
Hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang
harus dihormati dan dilindungi, tidak hanya Negara dengan melalui berbagai
peraturan perundang-undangan, tetapi juga merupakan kewajiban bagi setiap orang
untuk menghormatinya. Apalagi perampasan hak asasi oleh siapapun harus di
anggap sebagai pelanggaran hukum dalam kategori berat, sebab hak asasi
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya. Oleh karena itu Negara
harus memberikan perlindungan yang maksimal terhadap hak asasi manusia.
Di Era Globalisasi ini perkembangan ilmu dan teknologi
(iptek) yang sangat cepat telah memberikan kemudahan bagi umat manusia dalam
menyelesaikan pekerjaannya sehari-hari dalam berbagai segi kehidupan, tetapi
juga telah mengancam sumber rejeki bagi si pencipta/si penemu yang telah
menghasilkan berbagai karya cipta, dan penemuan sebagai hasil daya
kreatifitasnya dalam mewujudkan mutu intelektualitasnya sebagai sumbangan untuk
turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai praktek pelanggaran hak
milik intelekrual ini telah berlangsung sejak lama dan hingga kinipun masih
saja terjadi, bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Apalagi kemajuan
iptek turut memfasilitasi pelanggaran hak milik intelektual itu dengan berbagai
cara seperti pembajakan buku , film dan rekaman lainnya melalui disket, CD,
VCD,LD dan lain-lain cara atau yang dikenal dengan istilah “Multi Media” yang
pada kenyataannya sukar untuk di pantau. Celah-celah pelanggaran inilah yang
seringkali di manfaatkan oleh pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan
besar dengan cara yang mudah dengan sedikit mengeluarkan biaya, tanpa
memikirkan kerugian pihak lain, seperti si pencipta/si penemu dan juga Negara
tentunya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian barang jarahan dan bajakan
?
2. Apa saja jenis barang jarahan dan bajakan
?
3. Bagaimana Hukum memakai barang jarahan dan
bajakan ?
1.3 Tujuan
1. Memahami pengertian barang jarahan dan
bajakan.
2. Mengetahui apa saja jenis barang jarahan
dan bajakan.
3. Mengetahui hukum memakai barang jarahan
dan bajakan.
4. Menambah pengetahuan penulis dalam bidang
ilmu hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Barang Bajakan
Barang bajakan adalah barang atau harta yang
digandakan tanpa izin dari si pencipta/si penemu barang. Barang yang digandakan
tanpa izin dari sipencipta/sipenemu tersebut hukumnya haram. Karena merupakan
pelanggaran hak milik yang hak milik tersebut tidak boleh di ambil
sewenang-wenang oleh siapapun.
Rasulallah SAW bersabda:
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبة من نَفْسٍ
“Tidaklah
halal harta seorang muslim kecuali atas kerelaan darinya“.
مَنْ سَبَقَ
إِلَى مُبَاحٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِه
“Barang
siapa telah lebih dahulu mendapatkan sesuatu yang mubah (halal) maka dialah
yang lebih berhak atasnya’’.
Hak milik (hak asasi manusia) merupakan hak dasar
manusia yang harus dihormati dan dilindungi, tidak hanya oleh Negara melalui
berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi juga merupakan kewajiban bagi
setiap orang untuk menghormatinya.
Penggandaan barang tanpa izin dari pemilik merupakan
pelanggaran perampasan hak milik yang siapapun melakunnya sama dengan melakukan
pelanggaran hukum yang merupakan hukum dalam kategori berat, sebab hak milik
(hak asasi manusia) merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya.
Penggandaan barang juga telah mengancam sumber
rejeki bagi si pencipta/si penemu yang telah menghasilkan berbagai karya cipta,
dan penemuan
sebagai hasil daya kreatifitasnya dalam
mewujudkan mutu intelektualitasnya.
Berbagai praktek pelanggaran hak milik tersebut
dilakukan dengan berbagai cara seperti pembajakan buku , film dan rekaman lainnya
melalui disket, CD, VCD,LD dan lain-lain cara atau yang dikenal dengan istilah
“Multi Media”. Pelanggaran inilah yang seringkali di manfaatkan oleh
pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan besar dengan cara yang mudah
dengan sedikit mengeluarkan biaya, tanpa memikirkan kerugian pihak lain,
seperti si pencipta/si penemu dan juga Negara tentunya.
2.2 Jenis
Barang Bajakan
Jenis barang bajakan :
1. Karya
Sastra :
novel, esai, naskah film, puisi dan sebagainya
2. Karya
Musik : lagu,
lirik, dan sebagainya
3. Tari,
pantomim : koreografi untuk
tari, seperti balet atau tari modern, dan untuk pantomim, dan sebagainya
4. Karya
Seni
: lukisan, karya cetak, patung, komik, kaligrafi, pernagkat panggung, seni atau
kerajinan, dan sebagainya
5. Karya
Arisektur : racangan arsitektur dan
gedung-gedung
6. Peta dan
Diagram : peta, cetak biru (blue print),
diagram, gambar design, figur, model, dan sebagainya
7.
Sinematografi
: film untuk gedung bioskop, program TV, peranti lunak, video game, dan
sebagainya
8.
Foto
: foto, fotografer dan sebagainya
9.
Program
: program komputer, dan sebagainya
2.3 Hak
Cipta Menurut Pandangan Islam
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang
mewajibkan penyebarluasan ilmu dan ajaran agama seperti dalam Surat Al-Maidah
ayat 67 dan Yusuf ayat 108. Dan di samping itu terdapat pula beberapa ayat yang
melarang (haram), mengutuk dan mengancam dengan azab neraka pada hari akhirat
nanti kepada orang-orang yang menyembunyikan ilmu, ajaran agama, dan
mengkomersialkan agama untuk kepentingan dunia kehidupan duniawi, seperti dalam
surat Ali Imran ayat 187; Al- Baqarah ayat 159-160; dan ayat 174-175.
Kelima ayat dari surat Ali Imran dan Al-Baqarah
tersebut menurut historisnya memang berkenaan dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan
Nasrani). Namun sesuai dengan kaidah hukum Islam “yang dijadikan pegangan
adalah keumuman lafalnya (redaksi), bukan kekhususan sebabnya.”
Maka peringatan dan ketentuan hukum dari kelima ayat
tersebut di atas juga berlaku bagi umat Islam. Artinya, umat Islam wajib
menyampaikan ilmu dan ajaran agama (dakwah Islamiyah) kepada masyarakat dan
haram menyembunyikan ilmu dan ajaran agama, serta mengkomersilkan agama untuk
kepentingan duniawi semata (Vide Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. II/ 51)
Demikian pula terdapat beberapa hadits yang senada
dengan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut di atas, antara lain hadits Nabi riwayat
Abu Daud, Tirmidzi, Hakim dari Abu Hurairah ra.: “barang siapa ditanyai tentang
sesuatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diberi pakaian kendali
pada mulutnya dari api neraka pada hari kiamat.”
Yang dimaksud dengan ilmu yang wajib dipelajari
(fardhu ‘ain) dan wajib pula disebarluaskan ialah pokok-pokok ajaran Islam
tentang aqidah, ibadah, muamalah dan akhlaq. Di luar itu, hukumnya bisa jadi
fardhu kifayah, sunnah
atau mubah, tergantung pada urgensinya bagi setiap
individu dan umat (al-Zabidi, Taisirul Wusul ila Jami’ al-Ushul, vol. III,
Cairo, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1934, hlm. 153)
Mengenai hak cipta seperti karya tulis, menurut
pandangan Islam tetap pada penulisnya. Sebab karya tulis itu merupakan hasil
usaha yang halal melalui kemampuan berfikir dan menulis, sehingga karya itu
menjadi hak milik pribadi. Karena itu karya tulis itu dilindungi hukum,
sehingga bisa dikenakan sanksi hukuman terhadap siapapun yang berani melanggar
hak cipta seseorang. Misalnya dengan cara pencurian, penyerobotan, penggelapan,
pembajakan, plagiat dan sebagainya.
Islam sangat menghargai karya tulis yang bermanfaat
untuk kepentingan agama dan umat, sebab itu termasuk amal saleh yang pahalanya
terus menerus bagi penulisnya, sekalipun ia telah meninggal, sebagaimana dalam
hadits Rasul riwayat Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah ra.: “apabila
manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalnya, kecuali tiga, yaitu sedekah
jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan dia.”
Karena hak cipta itu merupakan hak milik pribadi, maka
agama melarang orang yang tidak berhak (bukan pemilik hak cipta) memfotokopi,
baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk bisnis. Demikian pula
menerjemahkannya ke dalam bahasa lain dan sebagainya, juga dilarang, kecuali
dengan izin penulisnya atau penerbit yang diberi hak untuk menerbitkannya.
Perbuatan meng-copy, mencetak, menerjemahkan,
menduplikasi, memperbanyak, memodifikasi dan sebagainya yang bermotif komersial
terhadap karya/produk seseorang atau suatu pihak tanpa izin pemilik hak cipta
atau ahli warisnya yang sah atau yang diberi wewenang oleh penulisnya,
merupakan perbuatan tidak etis dan zhalim yang dilarang oleh Islam. Sebab
perbuatan semacam itu bisa termasuk kategori pencurian dan men-ghasab hak orang
lain ataupun penggelapan dan penipuan dalam konteks melanggar amanat/perjanjian
kesepakatan antara para pihak terkait.
Adapun dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar
melarang pelanggaran hak cipta dengan perbuatan-perbuatan tersebut di atas
antara lain:
1. al-Qur’an Surat Al-Baqoroh:188 “Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil….”
2. Hadits Nabi riwayat Daruqutni dari Anas (hadits marfu’): “tidak halal
harta milik seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.”
3. Hadits Nabi: “Nabi bertanya, ‘apakah kamu tahu siapakah orang yang
bangkrut (muflis, Arab) itu?’ jawab mereka (sahabat): ‘orang yang bangkrut di
kalangan kita ialah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali’.
Kemudian Nabi bersabda: ‘sebenarnya orang bangkrut (bangkrut amalnya) dari
umatku itu ialah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang
baik, seperti shalat, puasa dan zakat. Ia juga membawa berbagai amalan yang
jelek, seperti memaki-maki, menuduh-nuduh, memakan harta orang lain, membunuh
dan memukul orang. Lalu amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang
pernah dizhalimi/dirugikan dan jika hal ini belum cukup memadai, maka
amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah dizhalimi itu ditransfer kepada si
zhalim itu, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.”
Ayat dan kedua hadits di atas mengingatkan umat Islam
agar tidak memakai/menggunakan hak orang lain, dan tidak pula mengkonsumsi
ataupun memanfaatkan harta orang lain, kecuali dengan persetujuan dan kerelaannya.
Pelanggaran terhadap hak orang lain termasuk hak cipta juga bisa termasuk ke
dalam kategori muflis, yakni orang yang bangkrut amalnya nanti di akhirat.
Islam menghormati hak milik pribadi, namun hak milik
pribadi itu juga memiliki dimensi sosial dan lingkungan, karena hak milik
pribadi maupun perusahaan pada hakikatnya adalah hak milik Allah yang
diamanahkan kepada seseorang atau suatu perusahaan. Karenanya, karya, produk,
inovasi dan kreasi itu pun harus dapat dimanfaatkan oleh umat manusia baik melalui
transaksi komersial yang terjangkau maupun charity yang bersifat sosial,
tidak boleh dirusak, disembunyikan, maupun dimonopoli oleh pemilik dan
pembuatnya. Karena universalitas dimensi kesosialan tersebut dalam ketentuan
Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
perusahaan wajib menunaikan tanggungjawab sosial dan lingkungan baik melalui
pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) maupun zakat
perusahaan ataupun pemegang saham. Selain itu, dalam penentuan tarif dan harga
penjualan
2.4 Hukum
Memakai Barang Bajakan
Setiap
pelanggaran terhadap hak milik orang (hak asasi manusia), termasuk menggunakan,
mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan,
menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu,
membajak barang atau harta milik orang lain tanpa hak merupakan kedzaliman dan
itu hukumnya adalah haram.
Di dalam
al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29 dan surat As-Syu’ro ayst 183 telah dijelaskan
tentang larangan memakan harta orang lain secara batil (tanpa hak) dan larangan
merugikan harta maupun hak orang lain.
Firman Allah
SWT, yang artinya:
“Hai orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang Kepadamu”.(QS. An-Nisa’:29)
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah
kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”. (QS. As-Syu’ro:183)
Hadits-hadits
Nabi yang berkaitan dengan harta kekayaan
“Barang siapa meninggalkan harta (kekayaan), maka harta itu untuk ahli
warisnya. Dan barang siapa meninggalkan keluarga (miskin), serahkanlah
kepadaku”.(HR. Bukhari)
“Ketahuilah! Sesungguhnya tidak halal bagi seseorang sedikitpun dari harta
saudaranya, kecuali dengan kerelaan hatinya”.(HR. Ahmad)
Apabila barang jarahan itu dijual, menurut pendapat Imam Syafi’i, Tiadak
sah apabila menjual suatu barang (harta) tanpa ada izin dari pemiliknya. Adapun
menurut dalam qaul qadimnya, jika si pemilik barang membenarkan, sahlah
penjualan itu, tetapi jka tidak dibenarkan tidak sah penjualan itu. Menurut
pendapat Imam Hanafi Penjualannya adalah sah dan bergantung pada izin dari
pemiliknya, adapun pembeliannya tidak bergantung pada izin. Sedangkan menurut
Imam Maliki sah tidaknya jual beli bergantung pada izin si pemilik. Dari Imam
hambali diperoleh dua riwayat dalam masalah ini, tidak sah seseorang menjual
barang yang belum tetap menjadi miliknya secara mutlak.
2.5
Pengertian Barang Jarahan
Ibnu
Abbas dan Mujahid berpendapat bahwa ghanimah, yakni segala harta kekayaan
orang-orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslimin melalui perang penaklukan.
Pihak yang berwenang mendistribusikan ghanimah adalah Rasulullah saw dan para
khalifah setelah beliau. Rasulullah saw telah membagikan ghanimah Bani Nadhir
kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada Anshar, kecuali Sahal bin Hanif dan Abu
Dujanah, karena keduanya fakir. Rasulullah saw juga memberikan ghanimah kepada
muallaf pada perang Hunain dalam jumlah yang besar. Hal tersebut juga terjadi
pada kurun Khulafaur Rasyidin. Khalifah berhak membagikan ghanimah kepada
pasukan perang, ia juga dapat mengumpulkannya bersama fa’ii, jizyah dan kharaj
untuk dibelanjakan demi terwujudnya kemaslahatan kaum muslimin.
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa [615] yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di
hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS Al Anfaal (8): 41)
2.6 Cara Pembagian Harta Ghonimah
a. Kaidah utama dalam pembagian ghonimah adalah seperti yang ditetapkan
Al-Quran (Untuk Alloh seperlimanya…), caranya: 20 % dari total harta ghonimah
diletakkan di Baitul Mal kaum Muslimin. Sedangkan 80% sisanya dibagikan kepada
kelompok Mujahidin yang memperoleh ghonimah tersebut.
b. Ketika ada kesepakatan tentang sistem pembagian antara anggota tim
pasukan yang berjihad sebelum meraih harta ghonimah, maka kesepakatan itu harus
mereka laksanakan dengan adil. Namun, jatah yang disalurkan untuk kepentingan
jihad dan kaum Muslimin tidak boleh kurang dari seperlima (20%). Jika mereka
rela untuk menambahnya sebelum menjalankan operasi, silahkan mereka memberi
tambahan sesuai kesepakatan, karena mungkin untuk memenuhi keperluan tandzim
atau pasukan mereka dalam urusan-urusan jihad.
c. Jika tim pasukan beroperasi dengan dukungan kekuatan dari tandzim atau
kelompok pasukan lain yang turut mensuplai kebutuhan umum, baik logistik,
senjata, survei, informasi dan kebutuhan lainnya, maka semua anggota tandzim
terkait diberi jatah dalam jumlah sesuai kesepakatan saling ridho yang
dilakukan antar jajaran petinggi tandzim-tandzim tersebut.
d. Pembagian 20% yang diberikan kepada Baitul Mal adalah untuk : 4% imam,
4% fuqarah dan masakin(kaum fakir miskin), 4% mashalihul’l muslimin(untuk
kemaslahatan kaum muslimin), 4% ibnu’ssabil, 4% yatama(anak-anak yatim).
2.7 Hukum Tentang Barang Jarahan
Menurut para ulama, pada dasarnya hukum barang jarahan
adalah halal dengan didasari :
1.
Halalnya harta pemerintahan yang murtad dan aset-aset umum yang mereka miliki,
serta aset-aset para tokohnya.
2.
Halalnya harta semua orang kafir asing yang ada di negeri kaum Muslimin, sebab
jaminan keamanan mereka gugur (tidak berlaku secara syar‘i) seiring dengan
gugurnya keabsahan pemerintahan yang ada secara syar‘i sehingga pemerintah ini
tidak berhak memberi jaminan keamanan dan perlindungan, atau menjalin ikatan
perjanjian dan kesepakatan dengan orang-orang kafir.
3. Halalnya
harta semua non-muslim yang tinggal di negeri kaum Muslimin, dengan sebab yang
sama dengan point sebelumnya.
4. Halalnya harta orang-orang murtad, yaitu
mereka yang secara terang-terangan menyatakan kerja sama mereka dengan tentara
pendudukan serta membantu mereka dalam memusuhi kaum Muslimin.
5. Halalnya harta orang-orang kafir yang
tinggal di negara Harbiy (yang memerangi kaum Muslimin), karena status perang
antara kita dan mereka telah tegak, dan tidak adanya perjanjian antara mereka dengan
pihak pemerintahan Islam yang syar‘i yang mengharuskan rakyat (kaum Muslimin)
menepati janji terseb12
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari penjelasan
diatas telah di jelaskan bahwa barang jarahan adalah barang yang diperoleh dan
dihasilkan dari peperangan dengan orang kafir sedangkan Bajakan adalah barang
yang digandakan tanpa izin dari si pemilik/si pencipta, dan barang siapa yang
menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor,
mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak,
memalsu, membajak barang atau harta milik orang lain tanpa hak merupakan
kedzaliman dan itu hukumnya adalah haram.
3.2 Saran
Janganlah
menggandakan barang milik orang lain tanpa ada izin dari pemilik, karena itu
bisa mengurangi rejeki si pemilik, dan sebagai makhluk sosial kita harus
menghormati dan melindungi hak milik orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Syafei, Rahmat, Fiqih Muamalah. Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2001
Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan al Fauzan, Ringkasan Fiqih Lengkap, Jakarta, Jayeng
Kusuma, 2005
Zuhdi, Masfuk, Masail Fiqih, Bandung, 1988
Zuhdi, Masfuk, Masail Fiqih, Bandung, 1988
Syaikh
Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih empat madzab. Bandung
2010
Ahmad bin
Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Fatwa-fatwa Jual Beli, Jakarta 2004
0 komentar:
Posting Komentar